Synyster Gates (lahir dengan nama Brian Elwin Haner, Jr. pada tanggal 8 Juli, 1981) adalah seorang musisi dan gitaris untuk grup musik Avenged Sevenfold.
Brian
adalah anak pertama dari tiga bersaudara. Dia mempunyai adik lelaki
bernama Brent dan adik perempuan bernama McKenna. Ayahnya, Brian Elwin
Haner Sr. (biasa dipanggil dengan nama Papa Gates), adalah seorang
pelawak dan gitaris professional yang kali ini sedang tour dengan Jeff Dunham. Ibu tirinya, Suzy Haner, adalah seorang ahli hipnotis.
Senin, 21 Mei 2012
Jumlah anak jalanan di Jakarta terus
bertambah. Saat ini yang terdata sekitar 7 ribu orang. Yayasan Sahabat
Anak mencoba mengajak mereka untuk sekolah. Ajakan yang tidak mudah.
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Tawa ceria anak-anak memenuhi ruangan sekretariat Karang Taruna Manggarai Minggu (6/5) sore lalu. Di ruangan seluas lapangan voli itu puluhan anak-anak dari usia prasekolah, TK hingga SMA ramai berlarian sambil membawa tas berisi alat tulis.
AGUNG PUTU ISKANDAR, Jakarta
Tawa ceria anak-anak memenuhi ruangan sekretariat Karang Taruna Manggarai Minggu (6/5) sore lalu. Di ruangan seluas lapangan voli itu puluhan anak-anak dari usia prasekolah, TK hingga SMA ramai berlarian sambil membawa tas berisi alat tulis.
Tak lama kemudian, sejumlah relawan
Yayasan Sahabat Anak datang. Mengetahui kakak-kakak datang –panggilan
akrab buat para relawan– anak-anak semakin gembira. Beberapa berlarian
menjemput para relawan yang baru keluar dari mobil. “Hore kakak datang,
kakak dating”,” teriak anak-anak bersahut-sahutan.
Dengan senyum ramah, para relawan
menyapa satu per satu anak yang menyambut. Mereka lalu masuk bareng ke
ruangan. Kemudian, ada yang mengumpulkan anak-anak, ada pula relawan
yang menyiapkan peralatan kesehatan di belakang ruangan.
“Biasanya setiap hari Minggu
bimbingan belajar. Tapi kali ini kami mau memeriksa kesehatan mereka,”
kata Frisca Hutagalung, salah seorang relawan Sahabat Anak Manggarai.
Randy Sarayar, relawan yang lain,
lantas maju di depan ruangan. “Siapa yang hari ini sudah mandi?” ujar
mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.
Cukup banyak yang angkat tangan.
“Siapa yang setiap hari mandi dua hari sekali?” Tanya Randy lagi. Kali
ini hanya sedikit yang angkat tangan.
“Kalau jarang mandi tubuh kita jadi tempat kuman, hiiii”,” katanya diikuti tawa anak-anak.
“Kalau jarang mandi tubuh kita jadi tempat kuman, hiiii”,” katanya diikuti tawa anak-anak.
“Kakak, saya mandi dua kali sehari, lho,” kata Gilbert Manalu yang masih duduk di kelas dua SD.
Yayasan Sahabat Anak selama ini
bergerak mengabdikan diri mendidik anak-anak jalanan di Jakarta. Mereka
terbagi dalam delapan lokal. Yakni, Sahabat Anak Prumpung, Grogol,
Manggarai, Cijantung, Gambir, Tanah Abang, Mangga Dua, dan Kota Tua.
Masing-masing wilayah bertanggung jawab langsung kepada Sahabat Anak
pusat. Setiap lokal memiliki kepengurusan dan relawan sendiri-sendiri.
Aktivitas setiap lokal juga
berbeda-beda. Ada lokal yang membuka rumah baca, kursus komputer, hingga
kursus bahasa Inggris. Namun, kebanyakan mengadakan bimbingan belajar
setiap hari Minggu. “Bagi yang sudah bersekolah mereka kami bimbing
mengenai pelajarannya di sekolah. Sedangkan yang belum sekolah, kami
motivasi dan ajak bersekolah,” katanya.
Khusus untuk kesehatan, Sahabat
Anak mewajibkan setiap lokal untuk member perhatian kepada anak-anak
binaan. Sebab, kesehatan tak kalah penting daripada pendidikan. Mereka
tidak ingin anak-anak senang mengikuti pelajaran tapi kesehatannya tidak
terurus.
“Lingkungan keseharian mereka kan tidak ideal. Kalau mereka sampai sakit dari mana biaya untuk mengobati,” kata Frisca.
Dia menuturkan, setiap lokal
memiliki anak-anak jalanan binaan. Mereka merekrut anak-anak jalanan
secara baik-baik dengan meminta izin terlebih dahulu kepada orag tuanya.
Tapi, tidak semua ajakan berbuah respons positif. Banyak orang tua yang
menanyakan kompensasi untuk anak-anaknya yang “tidak bekerja” lantaran
harus “sekolah” bersama para relawan.
Menurut para relawan, anak-anak
jalanan di Jakarta punya permasalahan yang khas. Mereka berkeliaran di
jalanan karena orang tuanya miskin. Di pinggir-pinggir jalan itulah
mereka mencari uang di antara asap knalpot kendaraan, terik matahari,
dan ancaman kecelakaan. Mereka berjualan asongan, mengamen, atau
mengemis.
Hasilnya ternyata lumayan banyak.
Sehari bisa mendapatkan uang berkisar Rp 100 ribu hingga Rp 150 ribu per
orang. Sebulan yang mereka peroleh bisa lebih dari Rp 3 juta. “Apalagi
yang mangkal di kawasan wisata Kota Tua, bisa lebih banyak lagi. Sebab
di kawasan itu setiap hari tidak pernah sepi,” kata Frisca.
Anak-anak itu tidak bersekolah
karena dipaksa orang tuanya untuk turun ke jalan, mencari uang. “Tapi
apa mereka sampai dewasa tetap di jalan mengamen dan mengemis? Mereka
harus mengenyam pendidikan untuk bekal hidupnya kelak,” kata Frisca.
Karena itu, perjuangan yang paling
berat bagi para relawan adalah memotivasi anak-anak jalanan itu agar mau
bersekolah. Sebab, anak-anak sudah tahu bagaimana rasanya punya duit
sendiri. Begitu juga orang tuanya. Mereka lebih senang bila anak-anaknya
mencari duit di jalanan daripada mengikuti kegiatan Sahabat Anak yang
tidak menghasilkan duit.
Untuk kasus-kasus seperti itu, para
relawan harus merayu ekstra keras kepada orang tua dan anak-anaknya.
Mereka harus bisa memberi pemahaman bahwa pendidikan adalah hak
anak-anak. Mereka berhak untuk maju dan mempunyai kesempatan hidup lebih
baik.
“Kami harus hati-hati dan pandai berkata-kata. Mengajak anak-anak ke sekolah tanpa menjadi musuh orang tuanya,” katanya.
Pelan tapi pasti, anak-anak jalanan tersebut mau diajak belajar bersama kakak-kakaknya dari Sahabat Anak. Bahkan mereka kini mulai taraf senang beraktivitas yang ditawarkan yayasan.
Pelan tapi pasti, anak-anak jalanan tersebut mau diajak belajar bersama kakak-kakaknya dari Sahabat Anak. Bahkan mereka kini mulai taraf senang beraktivitas yang ditawarkan yayasan.
Dalam proses pendampingan itu para
relawan juga mencari bakat-bakat terpendam anak-anak jalanan itu. Bila
ada yang potensial, mereka memberinya beasiswa ke sekolah tertentu
hingga selesai. Atau, jika ada yang tertarik dengan dunia otomotif,
mereka akan memberinya kursus perbengkelan.
Para relawan mengaku sering
kesulitan mengajak anak-anak belajar. Apalagi mengajak mereka ke
sekolah. Salah satu alasannya karena mereka merasa malu sudah lama tidak
bersekolah. “Banyak yang minder dan rikuh untuk sekolah lagi,” kata
Frisca.
Solusinya, para relawan mau tidak
mau harus menggantikan peran orang tua. Pagi-pagi mereka mendatangi
rumah anak-anak binaan untuk mendampingi berangkat sekolah. Cara ini
dilakukan sampai si anak sudah berani pergi ke sekolah sendiri.
“Orang tua minta sekolah anaknya
jangan jauh-jauh (dari rumah) biar nggak susah dicari. Kita coba layani
mereka. Yang penting anak-anak mau bersekolah,” kata perempuan 33 tahun
itu.
Setahun sekali, yayasan mengadakan Jambore Anak Jalanan di tempat tertentu. Terakhir mereka mengadakannya di Kebun Binatang Ragunan beberapa bulan lalu. Selama dua hari mereka diajak bermain dan bersenang-senang.
“Anak-anak ini tumbuh tidak seperti anak-anak seusia mereka. Mereka jarang bermain karena setiap hari harus bekerja,” kata lulusan D3 Perpajakan UI itu.
Setahun sekali, yayasan mengadakan Jambore Anak Jalanan di tempat tertentu. Terakhir mereka mengadakannya di Kebun Binatang Ragunan beberapa bulan lalu. Selama dua hari mereka diajak bermain dan bersenang-senang.
“Anak-anak ini tumbuh tidak seperti anak-anak seusia mereka. Mereka jarang bermain karena setiap hari harus bekerja,” kata lulusan D3 Perpajakan UI itu.
Sahabat Anak kini memiliki pengurus
tetap berjumlah 50 orang plus 40-an relawan. Relawan berasal dari
beragam kalangan. Mulai mahasiswa, dokter, hingga ibu rumah tangga.
Mereka datang setiap Minggu di lokal-lokal Sahabat Anak tempat mereka
beraktivitas.
Frisca menuturkan, Sahabat Anak
berdiri pada 1997. Mereka tergerak untuk mengurus anak jalanan karena
tidak banyak lembaga yang mau menanganinya.
Semakin lama Sahabat Anak makin
besar hingga mereka bisa membuat yayasan tersendiri. Para relawan yang
dulu mahasiswa mulai banyak yang jadi dokter dan karyawan perusahaan
besar. Pendanaan yang dulu sangat sulit kini jadi lumayan lancar.
Kalaupun relawan yang jadi karyawan tidak menyumbang, mereka bisa
meneruskannya ke perusahaan tempatnya bekerja.
“Relawan kami makin banyak. Yang
baru terus berdatangan sementara yang lama terus berkembang. Baik secara
karir maupun secara link. Kami ikut tumbuh bersama anak-anak,” ujar
Frisca yang sehari-hari bekerja sebagai guru les privat bahasa Inggris
itu. (*/ari)
Langganan:
Postingan (Atom)